Ngarti.comĀ – Hubungan tanpa status atau yang kini populer disebut situationship menjadi fenomena sosial yang banyak dialami generasi muda.
Fenomena ini memunculkan beragam perasaan yang rumit, antara kedekatan emosional dan ketidakjelasan arah hubungan.
Meski sering dianggap sebagai bentuk kebebasan dalam menjalin relasi, situationship ternyata dapat membawa dampak psikologis yang signifikan bagi pelakunya.
Apa Itu Situationship?
Dalam dunia modern yang serba cepat dan terbuka, situationship muncul sebagai bentuk hubungan yang tidak terikat oleh label pacaran maupun komitmen pernikahan.
Istilah ini menggambarkan dua orang yang terlibat secara emosional atau bahkan fisik, namun tanpa kesepakatan yang jelas tentang arah hubungan mereka.
Berbeda dengan masa pendekatan atau dating, situationship kerap berlangsung dalam jangka waktu lama tanpa kejelasan status, meski keduanya saling memiliki keterikatan tertentu.
Fenomena ini banyak ditemukan di kalangan generasi milenial dan Gen Z yang cenderung mengutamakan kebebasan pribadi serta menghindari tekanan emosional dari hubungan formal.
Mereka lebih memilih menikmati momen tanpa beban ekspektasi, meski konsekuensinya sering kali berujung pada kebingungan emosional.
Para psikolog memandang situationship sebagai bentuk hubungan yang muncul akibat perubahan nilai-nilai sosial, di mana keintiman tidak lagi harus diikuti dengan komitmen jangka panjang.
Faktor digitalisasi dan kemudahan komunikasi juga berperan besar dalam memperkuat fenomena ini, karena hubungan kini dapat terbentuk hanya melalui interaksi daring yang intens namun dangkal.
Dampak Emosional dan Sosial dari Situationship
Meskipun terlihat ringan, situationship kerap menimbulkan dampak emosional yang kompleks bagi salah satu atau bahkan kedua pihak yang terlibat.
Tanpa adanya batasan yang jelas, seseorang bisa merasa terjebak dalam ketidakpastian antara harapan dan kenyataan.
Beberapa individu mungkin menikmati kedekatan tanpa tanggung jawab, sementara yang lain justru mengalami kecemasan karena tidak mendapatkan kepastian arah hubungan.
Psikolog hubungan menilai bahwa pola komunikasi yang tidak seimbang menjadi penyebab utama munculnya rasa frustrasi dalam situationship.
Satu pihak mungkin berharap hubungan tersebut berkembang menjadi lebih serius, namun pihak lain justru menolak untuk memberikan label atau komitmen apa pun.
Kondisi ini sering kali menyebabkan stres emosional, perasaan tidak berharga, hingga gangguan kepercayaan diri.
Selain itu, ketidakpastian yang terus berlangsung dapat memengaruhi cara seseorang memandang hubungan di masa depan.
Mereka yang pernah terluka karena situationship cenderung lebih berhati-hati, bahkan sulit membuka diri terhadap hubungan baru.
Di sisi lain, bagi sebagian orang, situationship dianggap sebagai ruang untuk mengenal diri sendiri dan memahami batas kenyamanan pribadi sebelum memasuki hubungan yang lebih serius.
Namun, tanpa komunikasi yang jujur dan terbuka, hubungan seperti ini berpotensi berakhir tanpa penutupan emosional yang sehat (emotional closure).
Fenomena ini juga memiliki dampak sosial yang cukup luas, terutama dalam membentuk persepsi masyarakat tentang makna hubungan romantis.
Generasi muda kini cenderung menganggap komitmen sebagai sesuatu yang tidak harus segera diwujudkan, melainkan bisa dinegosiasikan sesuai kenyamanan masing-masing.
Padahal, dalam jangka panjang, pola seperti ini dapat memengaruhi stabilitas emosional dan cara seseorang berinteraksi dalam kehidupan sosialnya.***