Ngarti.comĀ – Fenomena bahasa gaul di masyarakat kerap melahirkan istilah unik yang menarik untuk dibahas, salah satunya adalah sebutan “wanita Salome”.
Istilah ini cukup populer di beberapa kalangan, terutama di media sosial, dan sering digunakan dengan konotasi negatif.
Namun, tidak semua orang memahami arti sebenarnya dari sebutan tersebut serta bagaimana istilah ini terbentuk hingga digunakan secara luas.
Asal Usul Istilah Wanita Salome
Sebutan “Salome” dalam konteks percakapan sehari-hari di Indonesia bukanlah nama seseorang, melainkan akronim yang berkembang dari singkatan.
Istilah ini memiliki kepanjangan “satu lobang rame-rame”, yang kemudian dipelesetkan menjadi “Salome”.
Penggunaan kata ini kerap ditujukan untuk menyebut perempuan yang dianggap gampangan atau mudah berpindah pasangan.
Dalam konteks sosial, label tersebut tidak hanya menyinggung perilaku pribadi, tetapi juga mencerminkan pandangan masyarakat terhadap norma kesetiaan.
Pergeseran bahasa gaul semacam ini menandakan adanya cara baru masyarakat dalam memberikan stigma terhadap perilaku yang dinilai menyimpang.
Meski terdengar ringan, istilah tersebut menyimpan makna yang sangat sensitif karena mengandung stereotip negatif terhadap perempuan.
Makna Sosial dan Dampaknya di Masyarakat
Penyematan sebutan “wanita Salome” tidak bisa dipandang sekadar candaan, karena label ini bisa memengaruhi citra dan martabat seseorang.
Dalam masyarakat, perempuan yang mendapat stigma demikian seringkali dianggap rendah atau tidak layak untuk dihormati.
Padahal, generalisasi perilaku berdasarkan istilah ini bisa merugikan banyak pihak, terutama perempuan yang menjadi sasaran.
Penggunaan istilah kasar semacam ini juga menggambarkan bagaimana budaya populer bisa memperkuat diskriminasi gender.
Jika diamati lebih jauh, istilah ini muncul seiring dengan maraknya fenomena perselingkuhan atau hubungan gelap yang sering dibicarakan di ruang publik.
Masyarakat kemudian menciptakan bahasa singkat untuk menyebut fenomena tersebut, yang akhirnya menjadi istilah populer di kalangan tertentu.
Namun, dampaknya justru bisa mempertebal stigma sosial dan memperburuk cara pandang terhadap perempuan secara umum.
Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana bahasa gaul bisa menjadi alat kontrol sosial yang tidak selalu bersifat positif.
Mereka yang dianggap tidak sesuai dengan norma, akan lebih mudah dilabeli dengan istilah negatif untuk mempermalukan atau menjatuhkan reputasi.
Dari sisi budaya, penggunaan istilah ini menggambarkan rendahnya literasi publik dalam membedakan kritik perilaku dengan penghormatan pada individu.
Perspektif Budaya dan Pentingnya Literasi Bahasa
Bahasa selalu berkembang mengikuti tren masyarakat, namun tidak semua perkembangan bahasa bersifat netral.
Ketika bahasa digunakan untuk memberi label yang merendahkan, maka bahasa tersebut berubah menjadi alat diskriminasi.
Sebutan “wanita Salome” menjadi contoh nyata bagaimana istilah gaul bisa menormalisasi pelecehan verbal dalam percakapan sehari-hari.
Apalagi di era digital, istilah seperti ini bisa tersebar cepat melalui media sosial dan mengakar dalam interaksi generasi muda.
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa setiap kata yang diucapkan memiliki konsekuensi sosial.
Istilah yang dianggap lelucon bisa saja berdampak serius bagi orang yang menjadi sasaran.
Maka, literasi bahasa perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak mudah mengadopsi istilah yang memperkuat stereotip negatif.***