Ngarti.com – Fenomena “mata elang” semakin sering dibicarakan masyarakat, terutama berkaitan dengan praktik penarikan kendaraan bermotor di jalanan.
Dalam keseharian, istilah ini lekat dengan dunia kredit kendaraan, khususnya bagi nasabah yang terlambat membayar cicilan.
Namun, praktik yang dilakukan para mata elang seringkali menuai kontroversi karena dianggap menyalahi aturan dan meresahkan masyarakat.
Siapa Sebenarnya Mata Elang?
Mata elang pada dasarnya merupakan istilah populer untuk menyebut debt collector lapangan yang ditugaskan melacak sekaligus menarik kendaraan bermotor yang menunggak cicilan.
Berbeda dengan petugas resmi dari perusahaan pembiayaan, pekerjaan ini biasanya dilakukan secara freelance dan hanya dibayar jika berhasil menyita kendaraan target.
Dalam menjalankan tugasnya, para mata elang berbekal data identitas debitur yang dianggap bermasalah, mulai dari nama hingga nomor polisi kendaraan yang menunggak.
Data tersebut kemudian digunakan untuk mengintai di jalan raya, parkiran, hingga tempat umum lainnya, dengan tujuan menemukan kendaraan yang menjadi sasaran.
Jika kendaraan target ditemukan, mata elang kerap langsung bertindak dengan menghentikan pemilik dan berusaha menarik kendaraan tersebut di tempat.
Metode ini memunculkan pro dan kontra karena proses penarikan dilakukan tanpa prosedur resmi maupun surat perintah hukum yang jelas.
Kontroversi di Balik Aksi Mata Elang
Keberadaan mata elang menimbulkan ketegangan di masyarakat karena tindakan mereka sering dilakukan secara frontal.
Banyak laporan yang menyebutkan bahwa para mata elang tidak jarang bergerombol saat menghentikan kendaraan debitur.
Cara ini dinilai dapat menimbulkan intimidasi, bahkan tak jarang berujung pada konflik fisik di jalan.
Beberapa kasus juga memperlihatkan bahwa pengendara yang kendaraannya ditarik tidak diberikan penjelasan memadai mengenai proses hukum penarikan tersebut.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai legalitas mata elang dalam praktik penagihan kredit di lapangan.
Menurut aturan, penarikan kendaraan bermotor akibat tunggakan seharusnya hanya dapat dilakukan dengan dasar hukum yang sah, disertai surat resmi, dan dilakukan oleh pihak berwenang.
Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda, di mana mata elang bergerak tanpa dokumen resmi dan hanya mengandalkan data dari lembaga pembiayaan.
Hal ini membuat banyak pihak menilai keberadaan mata elang lebih dekat dengan praktik penarikan ilegal dibandingkan prosedur hukum yang semestinya.
Implikasi Sosial dan Hukum
Selain menimbulkan keresahan, praktik mata elang juga berdampak pada hubungan antara lembaga pembiayaan dan nasabah.
Debitur merasa tidak diperlakukan adil karena penarikan dilakukan tanpa komunikasi resmi maupun mediasi.
Masyarakat pun sering memandang negatif perusahaan pembiayaan akibat tindakan agresif mata elang di lapangan.
Di sisi lain, perusahaan pembiayaan berdalih bahwa penarikan kendaraan akibat tunggakan adalah bentuk pengamanan aset perusahaan.
Namun, ketika proses itu dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki dasar hukum kuat, risiko sengketa hukum semakin besar.
Tak jarang kasus berujung ke ranah kepolisian karena dianggap melanggar hak kepemilikan dan merusak ketertiban umum.
Aparat kepolisian sendiri beberapa kali mengingatkan masyarakat bahwa penarikan kendaraan di jalan tanpa surat resmi adalah tindakan ilegal.
Masyarakat yang menjadi korban dianjurkan segera melapor agar dapat ditindaklanjuti sesuai aturan hukum.***